24 October 2025
Tahun 2024 menjadi momentum refleksi besar bagi industri sistem pembayaran nasional. Meningkatnya kasus fraud dan scamming menuntut seluruh pelaku industri untuk memperkuat ketahanan sistem, di tengah perlambatan ekonomi dan perubahan regulasi yang terus bergulir. Dalam konteks inilah, sesi panel bertajuk Balancing the Resilience Challenges vs Potential New Business Creation menghadirkan pandangan strategis dari para pemimpin industri menegaskan pentingnya keseimbangan antara penguatan resiliensi dan penciptaan peluang bisnis baru.
Membuka diskusi, Abraham J. Adriaansz, Wakil Presiden Direktur PT Rintis Sejahtera menyoroti pentingnya peran asosiasi dan regulator dalam menghadapi kompleksitas baru di industri pembayaran. Selama 15 tahun terakhir, ASPI terus memperluas mandat dan kapasitasnya, memastikan standar keamanan minimum dan kesiapan industri berjalan beriringan dengan reformasi regulasi.
Santoso, Ketua Umum ASPI menambahkan bahwa situasi saat ini mengingatkan pada era tahun 1988 di mana ekspansi sektor keuangan perlu diimbangi dengan konsolidasi. Dengan munculnya ratusan fintech dan sistem pembayaran baru, penertiban ekosistem menjadi kebutuhan mendesak agar efisiensi dan keamanan dapat terjaga.
Vince Iswara, CEO DANA menekankan bahwa fintech Indonesia telah melewati fase ekspansi besar selama hampir satu dekade, ditandai dengan pertumbuhan masif transaksi digital. Namun, seiring kemajuan, tantangan baru pun muncul mulai dari cyber scam, social engineering, hingga ancaman teknologi baru seperti quantum computing dan crypto. Kini, menurutnya, saatnya industri berfokus pada tata kelola dan ketahanan ekosistem. Pendekatan preventive, reactive, dan corrective harus dijalankan secara terpadu melalui kolaborasi aktif lintas pelaku industri.
Dari perspektif perbankan, Anika Faisal, Sekretaris Jenderal PERBANAS menegaskan bahwa keberhasilan digitalisasi bergantung pada kepercayaan publik terhadap sistem perbankan. Oleh karena itu, diperlukan standarisasi kompetensi manajemen risiko dan forum berbagi praktik terbaik antarbank dan fintech. Peningkatan customer experience dan literasi digital menjadi kunci dalam memperkuat kepercayaan tersebut.
Dalam pandangan Timothy Utama, Direktur Operasional Bank Mandiri, transformasi digital harus dimulai dari pemahaman yang jelas tentang nilai tambah yang ingin dicapai. Digitalisasi bukan sekadar mengikuti tren teknologi, tetapi bagian dari strategi bisnis yang terarah. Ia menegaskan pentingnya komitmen dari pimpinan puncak agar seluruh jajaran dari direksi hingga karyawan operasional memiliki kesadaran dan semangat yang sama. Di Bank Mandiri, hal ini diwujudkan dalam target performa tinggi, termasuk komitmen menjaga system downtime tidak lebih dari lima menit per tahun.
Kaspar Situmorang, Group Head Digital Innovation BRI, menggambarkan bagaimana BRI mengedepankan pendekatan hyperlocal untuk menjangkau nasabah UMKM. Melalui chatbot multibahasa SABRINA yang mendukung delapan bahasa daerah, edukasi literasi digital menjadi lebih dekat dan relevan. Dengan lebih dari 44 juta pengguna aktif BRImo dan jaringan agen di seluruh Indonesia, BRI membuktikan bahwa resiliensi digital berakar dari konsistensi, kedisiplinan, dan pemahaman terhadap karakter nasabah.
Sementara itu, Corina L. Karnalies, Direktur Consumer Banking BNI menyoroti bahwa lima tahun terakhir merupakan periode transformasi luar biasa bagi industri perbankan. Pertumbuhan QRIS yang mencapai 36 juta merchant dan 56 juta pengguna menjadi bukti nyata. Melalui platform digital unggulan WONDR, BNI menunjukkan bagaimana inovasi dapat berjalan seiring dengan penguatan tata kelola. WONDR kini memiliki lebih dari 10,5 juta pengguna dengan volume transaksi mencapai Rp1.200 triliun hanya dalam satu tahun. Transformasi ini didukung oleh mindset top-to-bottom, pembentukan squad regional yang sigap menangani isu lokal, serta pelatihan rutin bagi merchant untuk memastikan keamanan dan kenyamanan transaksi.
Menutup diskusi, Abraham J. Adriaansz menegaskan bahwa ASPI memiliki peran penting dalam menentukan arah kolaborasi industri menjembatani “apa” dan “mengapa”, sementara “bagaimana” harus dijalankan bersama seluruh pelaku industri. Kolaborasi lintas industri, dukungan regulasi, dan kepemimpinan yang visioner menjadi kunci untuk menyeimbangkan antara resiliensi dan inovasi. Karena pada akhirnya, keberhasilan industri bukan hanya soal bertahan di tengah tantangan, tetapi juga tentang kemampuan menciptakan peluang baru yang berkelanjutan bagi ekosistem pembayaran Indonesia.